Ketika saya browsing, saya mendapati di Black in News menyoroti suatu berita mengenai bangunan tahan gempa dengan desain yang aneh. Hal ini mengingatkan saya pada bangunan-bangunan aneh nan artistik yang sekarang sedang didengung-dengungkan oleh bangsa arab, khususnya Uni Emirat Arab. Dalam satu dasawarsa terakhir saja mereka sudah mampu membuat Palm Island, dan bangunan pencakar langit yang disebut Burj Dubai. Kedua bangunan ini tentu mengundang banyak kekaguman dari dunia, tapi apakah seandainya kedua bangunan ini ada di Indonesia akan menjadikan suatu bentuk kesuksesan dalam suatu teknik pembangunan?
Blackholic Zone yang merupakan salah satu divisi pemberitaan dari Djarum Black Competition juga pernah menayangkan pemberitaan mengenai suatu ide bangunan tahan gempa yang dilontarkan oleh orang-orang OFIS Architect. Tentunya ini merupakan kabar baik bagi perkembangan dunia arsitek di Indonesia, karena kita tahu bersama bahwa Indonesia merupakan negara langganan gempa. Jika bangunan ini benar-benar terealisasi, maka bangunan unik ini akan seperti gunung berapi yang diselimuti oleh kulit menyerupai laba-laba. Bangunan yang diberi nama All Seasons Tent Tower ini menggabungkan antara energi matahari dan lingkungan. Dan kulit-kulit yang menutupi bangunan ini berfungsi untuk menagkap sinar matahari dan menjadikannya sebagai energi panas yang nantinya dikonversi menjadi energi listrik yang siap pakai.
Jika dianalogikan dengan bangunan lepas pantai (offshore building), All Seasons Tent Tower ini hampir mirip dengan konsep lilypad yang dikembangkan oleh Vincent Callebaut Architect yang juga menggunakan tenaga gelombang, angin, dan panas matahari sebagai sumber energi yang bisa menjalankan sistem kerja yang ada di bangunan tersebut. Tapi untuk lilypad sendiri bukan merupakan bangunan tahan gempa, lantaran sistem kerja dari bangunan ini adalah mengapung (floating structure). Berdasarkan pada ilmu perancangan yang pernah saya dapatkan, suatu bangunan harus memperhatikan beban gempa (seismic loading) hanya jika bangunan tersebut terpancang ke tanah (fixed platform), sehingga jika suatu bangunan yang terapung dan terikat dengan jangkar (anchor) dengan sistem mooring maka tidak memerlukan aspek gempa dalam perhitungan perancangannya. Jika Indonesia mengembangkan konsep bangunan anti gempa untuk bangunan lepas pantai maka akan lebih baik jika yang dikembangkan adalah floating structure, karena konsep bangunan seperti ini akan lebih tahan terhadap beban gempa dibandingkan dengan konsep bangunan yang terpancang (fixed).
Blackholic Zone yang merupakan salah satu divisi pemberitaan dari Djarum Black Competition juga pernah menayangkan pemberitaan mengenai suatu ide bangunan tahan gempa yang dilontarkan oleh orang-orang OFIS Architect. Tentunya ini merupakan kabar baik bagi perkembangan dunia arsitek di Indonesia, karena kita tahu bersama bahwa Indonesia merupakan negara langganan gempa. Jika bangunan ini benar-benar terealisasi, maka bangunan unik ini akan seperti gunung berapi yang diselimuti oleh kulit menyerupai laba-laba. Bangunan yang diberi nama All Seasons Tent Tower ini menggabungkan antara energi matahari dan lingkungan. Dan kulit-kulit yang menutupi bangunan ini berfungsi untuk menagkap sinar matahari dan menjadikannya sebagai energi panas yang nantinya dikonversi menjadi energi listrik yang siap pakai.
Jika dianalogikan dengan bangunan lepas pantai (offshore building), All Seasons Tent Tower ini hampir mirip dengan konsep lilypad yang dikembangkan oleh Vincent Callebaut Architect yang juga menggunakan tenaga gelombang, angin, dan panas matahari sebagai sumber energi yang bisa menjalankan sistem kerja yang ada di bangunan tersebut. Tapi untuk lilypad sendiri bukan merupakan bangunan tahan gempa, lantaran sistem kerja dari bangunan ini adalah mengapung (floating structure). Berdasarkan pada ilmu perancangan yang pernah saya dapatkan, suatu bangunan harus memperhatikan beban gempa (seismic loading) hanya jika bangunan tersebut terpancang ke tanah (fixed platform), sehingga jika suatu bangunan yang terapung dan terikat dengan jangkar (anchor) dengan sistem mooring maka tidak memerlukan aspek gempa dalam perhitungan perancangannya. Jika Indonesia mengembangkan konsep bangunan anti gempa untuk bangunan lepas pantai maka akan lebih baik jika yang dikembangkan adalah floating structure, karena konsep bangunan seperti ini akan lebih tahan terhadap beban gempa dibandingkan dengan konsep bangunan yang terpancang (fixed).
0 comments:
Post a Comment
silahkan komentar di sini