Setiap manusia mempunyai HATI NURANI yang menuntut manusia untuk berlaku berdasarkan prinsip-prinsip moral, seperti bertindak adil, benar, dan jujur.
Tuntutan tersebut bersifat mutlak atau tidak bisa ditawar-tawar, bukan berdasar pertimbangan untung atau rugi, bukan pula berdasarkan perasaan senang atau tidak senang, misalnya saja bila ada orang yang tidak melakukan tindakan moral (seperti mencuri, membunuh, menganiaya, berlaku tidak adil, dll), orang tersebut akan merasa malu, bersalah dll, bahkan seandainya tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Pertanyaannya, “Dari manakah tuntutan HATI NURANI yang bersifat mutlak tersebut?” Pastilah bukan sebuah realitas di luar diri manusia (misalnya alam, orang lain, atau masyarakat), karena tuntutan apapun yang berasal dari luar selalu masih dapat dipertanyakan oleh SUARA HATI, “Apakah tuntutan dari pihak luar tersebut sesuai atau tidak dengan tuntutan HATI NURANI?”. Dapat ditambahkan bahwa tuntutan dari pihak luar hanya mengikat sejauh tidak bertentangan dengan HATI NURANI (seperti apa yang baik, adil, jujur, benar, dan sebagainya).
Tuntutan yang bersifat mutlak tersebut pasti juga bukan berasal dari diri sendiri sebab tidak mungkin manusia mewajibkan dirinya secara mutlak. Kalau ia dapat mewajibkan diri, maka ia juga dapat mencabut tuntutan tersebut. Dengan demikian tuntutan tersebut pasti lah berasal dari realitas yang transenden, mengatasi segala, personal, dan suci.
Personal: sebab yang bisa memanggil dan menuntut hanyalah realitas yang personal yang tahu dan memperhatikan. Terhadap binatang/benda, kita tidak bisa atau tidak perlu merasa malu. Realitas yang baik dan suci: sebab terhadap bajingan, kita tidak bisa merasa malu atau bahkan kita sering merasa tidak bersalah bila kita mencuranginya.
Disebut yang transenden: sebab kriteria tersebut (a. dan b.) tidak bisa ditemukan dalam dunia ciptaan yang selalu memiliki keterbatasan. Dan dalam tradisi teologi bahkan dalam tradisi filsafat “realitas yang transenden tersebut sering disebut dengan sebutan ALLAH.
Namun demikian suara hati jangan disamakan dengan suara Tuhan. Ia suara lubuk hati kita sendiri tapi yang berhadapan dengan Tuhan dan karenanya menilai tantangan-tantangan yang dihadapi dari sudut Tuhan. Dari pengalaman ini yang ilahi tidak menjadi objek pengetahuan kita dan karena itu implikasi suara hati uang menunjuk pada Tuhan dapat disangkal oleh orang yang nalar dan emosinya sudah tertutup. Kita tidak dapat melihat yang ilahi dalam hati tetapi menyadarinya yaitu keseriusan mutlak terhadap tantangan moral.
0 comments:
Post a Comment
silahkan komentar di sini